Selasa, 17 Agustus 2010

Makna Kemerdekaan Indonesia

Ini menunjukan apa yang dilakukan masyarakat dalam rangka mengisi kemerdekaan melalui tulisan dan kampanye tersebut, merupakan bentuk ekspresi dari kejenuhan yang selama ini dialami, sekaligus menjadi bentuk manifestasi keinginan masyarakat dalam rangka memenuhi makna kemerdekaan. Masyarakat semakin menyadari akan makna sesungguhnya kemerdekaan. Mereka mempunyai pemahaman baru mengenai kemerdekaan, bagi mereka merdeka bukan hanya berarti terhindar dari tekanan penjajahan, akan tetapi kemerdekaan sejati. Melalui spanduk dan tulisan tersebutlah menjadi media menyampaikan keinginanya mengenai kemerdekaan. Bagi mereka bukanlah kemerdekaan ketika penindasan terus berlangsung, kemiskinan semakin memprihatinkan, pendidikan mahal, kesehatan menjadi barang langka, korupsi menggurita, praktek ilegal marak dan kesejahteraan rakyat tergadaikan.

Tentu masuk akal, ketika pemandangan yang kita saksikan sehari-hari adalah praktek menggelumbungnya lumbung kepentingan pribadi, kepentingan kekuasaan dan kepentingan kelompok yang sangat menonjol dalam berbagai macam bidang. Fenomena itu sangat mencolok terjadi dilingkungan bangsa ini, apa yang telah dirumuskan dalam sila kelima pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tidak pernah terwujud. Yang terjadi bahkan sebaliknya, pengingkaran terhadap amanah kemerdekaan dan pancasila sebagaimana dicitakan para perancang kemerdekaan.

Tampaknya momen kemerdekaan, bangsa ini mesti kembali meneguhkan dan mengusahakan sebagaimana yang disebutkan dalam pancasila sila kelima tersebut ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Paling tidak hal itu dapat dilakukan melalui tiga segi yaitu sosial politik, segi sosial budaya, dan segi sosial ekonomi. Pendekatan ketiga hal tersebut dapat digunakan untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat. Pengupayakan keadilan sosial itu harus didukung dengan sinerginya tiga komponen kunci bangsa ini yaitu negara atau pemerintah, masyarakat pasar (bisnis) dan ketiga adalah masyarakat sipil.

Tiga komponen ini sangat menentukan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Semestinya ketiga komponen ini berinteraksi secara harmonis, ketika sinergi tercapai maka akan terjadi kesejahteraan sosial dan kebaikan umum. Masyarakat pasar seharusnya mempunyai prinsip fairness dalam menjalankan usahanya, sementara pemerintah juga harus melakukan common good yang menjadi tugasnya. Sedangkan masyarakat sipil adalah saling percaya dalam prinsip interaksinya sosialnya.

Pada prinsipnya ketika pasar dijalankan dengan fair maka keuntungan dan kesejahteraan bukan hanya akan dirasakan oleh pelakunya saja akan tetapi juga berdampak baik pada masyarakat dan pemerintah. Kalau pasar dilakukan dengan fair, masyarakat sipil juga akan diuntungkan karena dia tidak akan dirugikan dengan praktek bisnis pasar. Namun apakah pasar selama ini telah dilakukan secara fair? Jawabanya tidak. Pada prakteknya bisnis dijalankan dengan tidak fair dan manusiawi. Misalnya pembalakan hutan, pembukuan dobel, manipulasi data, bahkan seringkali BBM yang disubsidi justru malah dieksport. Bila kita cermati, yang terjadi selama ini adalah baik pasar (bisnis), pemerintah sama-sama ”rusak”. Apakah pemerintahan selama ini benar-benar menjalankan tugasnya untuk kebaikan seluruh rakyat? Produk-produk yang dibuat benar-benar untuk kepentingan rakyat? Yang terjadi justru seringkali masing-masing melakukan konspirasi ”kotor”, baik pemerintah dengan masyarakat bisnis, masyarakat dan sebaliknya. Menjadi komplekslah rantai permasalahan tersebut. Sehingga kesejahteraan umum terkorbankan, keadilan yang seharusnya didukung oleh ketiga komponen tersebut tidak terwujud.

Laku yang baru

Sistem-sistem kebaruan harus dicari, cara berpikir, cara merasa, cara bertindak, cara berperilaku yang baru, cerdas, dan baik yang merupakan cerminan keadaban publik harus diterapkan. Ini adalah salah satu terobosan yang harus dilakukan oleh seluruh komponen bangsa, meskipun bukanlah mudah untuk dilakukan, akan tetapi tetap harus didorong dan dilakukan sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Sebagaimana dipopulerkan John Dewey mengenai experimental Countinum bahwa habitus yang baik melalui proses yang lama akan membentuk sebuah karakter yang baik.

Begitu pula dikatakan bahwa yang akan menyelamatkan bangsa ini adalah mereka yang disebut sebagai minoritas kreatif, yang dimaksud adalah orang-orang yang mempunyai idealisme, komitmen yang kuat untuk memperjuangkan kesejahteraan. Kelompok-kelompok kecil yang mempunyai komitmen dan idealisme dan tetap terus berjuang, sebagaimana dilakukan oleh seseorang di Bantul yang selama 25 tahun telah menghijaukan 40 hektar lahan kritis di daerahnya (dalam profil Kompas). Tentu 25 tahun bukanlah waktu yang pendek, ketika tidak punya komitmen dan idealisme dia tidak akan mampu bertahan. Orang-orang seperti itu lah yang di sebut minoritas kreatif. Dia membentuk 12 kelompok tani organik yang dia bina, meskipun dapat kita bayangkan 12 kelompok tani organik dibandingkan dengan 12 pabrik pestisida apa artinya? Ketika mereka tidak mempunyai komitmen dan idealisme yang kuat tentu akan langsung hancur dan putus asalah mereka.

Selanjutnya perjuangan dan kerja keras harus dilakukan oleh semua pihak baik masyarakat sipil, tokoh agamawan dan lembaga pemerintahan. Masing-masing harus mempunyai komitmen untuk membangun kearah yang lebih baik,sehingga akan berpengaruh besar terhadap tercapainnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana amanah kemerdekaan yag diperjuangkan oleh pendahulunya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar